Sabtu, 11 Juni 2011

Membatalkan Umrah [Prof. Dr. H. Imam Suprayogo]

Kami (red.) tertegun kagum setelah membaca tulisan Rektor UIN Maliki Malang ini. Beliau sungguh memberi contoh teladan yang nyata untuk umat. Tulisan-tulisan beliau ribuan jumlahnya, dan semuanya banyak mengadung pesan yang baik. Salah satunya pada tulisan beliau yang berjudul "Membatalkan Umrah". Tidak ada maksud lain dari redaksi selain agar pesan-pesan kebaikan ini banyak diketahui oleh umat. Berikut ini adalah isi tulisan dari Prof. Dr. H. Imam Suprayogo.
_______________
Umrah memang ibadah yang menyenangkan. Selain bisa beribadah di masjidil haram dan juga masjid nabawi, umrah sekaligus juga berekreasi, pergi jauh naik pesawat,  bersama orang banyak. Dengan umrah maka kebutuhan spiritual dan emosional terpenuhi semuanya.

 Sekalipun  pernah naik haji, isteri saya sudah cukup lama kepingin umrah. Untuk memenuhi niatnya itu, sudah beberapa lama,  setiap bulan menabung dari sisa uang belanja. Tunjangan jabatan setiap bulan,  tidak pernah saya bawa pulang.   Semuanya,  langsung saya setorkan kepada pengurus ZIS (Zakat Infaq dan shadaqoh) di kampus,  agar  digunakan untuk menolong mahasiswa yang memerlukan pertolongan. Dengan keadaan seperti itu, sekedar mencukupi biaya umrah, harus menabung dalam  waktu lama.

 Selama ini saya selalu mengajari keluarga agar hidup sederhana, supaya  banyak temannya. Dalam keadaan seperti sekarang  ini, orang yang menjalani hidup sederhana jauh lebih banyak daripada mereka yang hidup  berlebih-lebihan. Saya selalu tanamkan keyakinan, bahwa  hidup apa adanya justru lebih nikmat, lagi pula temannya banyak. Teman  itu  setidak-tidaknya adalah para tetangga yang  pekerjaannya sebagai  sopir angkot, pekerja  bangunan, penjual mie atau bakso,  dan lain-lain. 

 Suatu saat, sepulang dari kantor, isteri saya memberikan informasi bahwa, baru saja ketemu seorang janda tua yang hidup bersama cucunya di rumah yang sangat tidak layak, baik kondisi maupun luasannya. Kamar yang sangat sederhana dan sempit,  ditempati  olehnya dan  beberapa orang cucunya. Kamar  itupun statusnya juga hanya sewa.     
Sebenarnya   isteri saya sudah lama  mengenali janda tua tersebut.  Seumur-umur isteri pensiunan PNS rendahan yang telah lama ditinggal mati oleh suaminya tersebut,  belum pernah punya rumah sendiri. Sejak jadi PNS dari  tahun ke tahun,  hanya menempati  rumah sewa sederhana. Oleh karena itu,  jangankan  untuk membeli rumah, sekedar  menutup  kebutuhan hidup sehari-hari saja, uang pensiunannya  tidak akan mencukupi.   
Mendengar laporan  tersebut,  saya langsung mengingatkan bahwa, bukankah tabungan ibu sudah cukup untuk membelikan  orang itu,  rumah kecil-kecilan, agar bisa ditempati. Saya katakan, dia akan senang sekali kalau  ibu membelikan rumah untuknya. Mendengar usulan saya tersebut,  isteri saya mengatakan bahwa,  ia sengaja menyisihkan sisa uang belanja setiap bulan, dan  menabungnya  selama ini,  berniat  untuk biaya pergi umrah bersama-sama.
Saya segera menjelaskan bahwa,  pahala umrah  memang besar. Akan tetapi tidak sebesar  pahala bagi orang   yan g membelikan rumah untuk  orang yang selama hidupnya  belum pernah merasakan punya rumah. Saya mengajak  membandingkan, antara  kegembiraan yang didapat dari pergi umrah dan membelikan rumah bagi orang yang tidak mampu  dan sangat membutuhkan. 
Tatkala pergi umrah, maka  yang gembira hanya kita sendiri. Tetapi kalau membelikan  rumah untuk  orang yang tidak punya, maka kegembiraan  itu akan dirasakan oleh orang yang ditolong itu secara terus menerus,  dalam waktu yang lama. Selain itu, kita juga akan merasa gembira tatkala melihat orang gembira,  dan   tidak akan  iba dan sedih lagi, ketika melihat  orang  tersebut sudah punya rumah.

Ternyata usul saya disetujui, uang yang semestinya digunakan untuk umrah, dibelikan rumah kecil-kecilan, cukup untuk berteduh janda tua  tersebut  bersama cucu-cucunya. Kebetulan ketika itu, mencari rumah sederhana juga tidak sulit.  Harganya juga   murah, kira-kira sebesar  biaya umrah untuk dua orang.  Sekedar biaya umrah untuk dua orang, isteri saya harus menabung  cukup lama, karena gaji  setiap bulan, besarnya juga tidak seberapa.  

Oleh karena semangat,  ingin melihat kegembiraan orang yang akan diberi rumah, isteri saya segera mencari orang dimaksud.  Namun ternyata,  ia  sudah pindah ke tempat sewaan lain, yang alamatnya juga tidak jelas. Sehari kemudian,  mendapatkan kabar, tentang  ancar-ancar alamat  yang ditempatinya. Maka segera dicarinya, tetapi juga tidak mudah ditemukan.  Sudah banyak orang di lingkungan itu ditanyai, tetapi mengaku tidak tahu.

Agar tidak repot, untuk mencari orang dimaksud, isteri saya mencoba minta bantuan takmir masjid di lingkungan perumahan itu, untuk memanggilnya  lewat pengeras suara di tempat ibadah itu. Takmir mengijinkan , dengan catatan harus dipanggil  sendiri. Dengan semangatnya, tawaran itu diterima dan langsung memanggil  nama  orangnya, agar  segera datang  ke masjid. Tidak disangka, bahwa bukan orang yang dimaksudkan itu yang  datang,  melainkan malah mendapatkan teguran ,  karena  orang   kaget,  mengira ada kematian.

Beruntung  tidak lama kemudian, usaha pencarian  itu berhasil.   Janda tua tersebut ditemukan. Namun setelah diberi tahu akan diberi rumah, dia tidak  segera percaya,   dianggapnya pemberitahuan itu  tidak serius. Sebab selama ini,  tidak pernah ada orang yang memberinya sesuatu, apalagi  rumah. Pikirnya, tidak mungkin rumah diberikan begitu saja,  apalagi tidak ada sebab atau hubungan apa-apa.  Setelah  diyakinkan, maka segera ia menangis sejadi-jadinya,  karena haru,  senang,  dan bahagia. Melihat orang menangis itu, isteri saya, katanya   juga ikut menangis pula.

Apa yang saya gambarkan ternyata benar,  bahwa  umrah memang perlu dan menyenangkan. Tetapi mengalihkan rencana  itu untuk memenuhi  kebutuhan orang lain yang lebih mendesak, justru dirasakan jauh lebih membahagiakan. Ibadah umrah adalah penting, tetapi bagi yang sudah menjalankannya, mengalihkan  biaya  itu  untuk memenuhi  kebutuhan orang lain yang sangat memerlukan pertolongan, kiranya pahalanya jauh melebihi umrah.

Tidak saja terkait  pahala, bahwa  kesenangan  dari memberi sesuatu kepada orang yang  sedang memerlukan,  akan lebih  besar. Kebahagiaan pada hakekatnya bukan saja  dirasakan oleh  seseorang  yang sedang menerima, tetapi justru sebaliknya.    Seseorang  yang bisa  memberi sesuatu kepada orang lain jauh lebih bahagia. Apalagi  orang diberi bisa berterima kasih dan bersyukur. Menggagalkan rencana  umrah, dan mengalihkan  biaya itu  untuk menolong orang yang memrlukan pertolongan,  maka pahalanya   mungkin justru lebih besar,  termasuk   kebahagiaan   yang dirasakan dari  memberi itu.  Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates