Kami (red.) tertegun kagum setelah membaca tulisan Rektor UIN Maliki Malang ini. Beliau sungguh memberi contoh teladan yang nyata untuk umat. Tulisan-tulisan beliau ribuan jumlahnya, dan semuanya banyak mengadung pesan yang baik. Salah satunya pada tulisan beliau yang berjudul "Membatalkan Umrah". Tidak ada maksud lain dari redaksi selain agar pesan-pesan kebaikan ini banyak diketahui oleh umat. Berikut ini adalah isi tulisan dari Prof. Dr. H. Imam Suprayogo.
_______________
Umrah memang ibadah yang menyenangkan. Selain bisa beribadah di masjidil haram dan juga masjid nabawi, umrah sekaligus juga berekreasi, pergi jauh naik pesawat, bersama orang banyak. Dengan umrah maka kebutuhan spiritual dan emosional terpenuhi semuanya.
Sekalipun pernah naik haji, isteri saya sudah cukup lama kepingin umrah. Untuk memenuhi niatnya itu, sudah beberapa lama, setiap bulan menabung dari sisa uang belanja. Tunjangan jabatan setiap bulan, tidak pernah saya bawa pulang. Semuanya, langsung saya setorkan kepada pengurus ZIS (Zakat Infaq dan shadaqoh) di kampus, agar digunakan untuk menolong mahasiswa yang memerlukan pertolongan. Dengan keadaan seperti itu, sekedar mencukupi biaya umrah, harus menabung dalam waktu lama.
Selama ini saya selalu mengajari keluarga agar hidup sederhana, supaya banyak temannya. Dalam keadaan seperti sekarang ini, orang yang menjalani hidup sederhana jauh lebih banyak daripada mereka yang hidup berlebih-lebihan. Saya selalu tanamkan keyakinan, bahwa hidup apa adanya justru lebih nikmat, lagi pula temannya banyak. Teman itu setidak-tidaknya adalah para tetangga yang pekerjaannya sebagai sopir angkot, pekerja bangunan, penjual mie atau bakso, dan lain-lain.
Suatu saat, sepulang dari kantor, isteri saya memberikan informasi bahwa, baru saja ketemu seorang janda tua yang hidup bersama cucunya di rumah yang sangat tidak layak, baik kondisi maupun luasannya. Kamar yang sangat sederhana dan sempit, ditempati olehnya dan beberapa orang cucunya. Kamar itupun statusnya juga hanya sewa.
Sebenarnya isteri saya sudah lama mengenali janda tua tersebut. Seumur-umur isteri pensiunan PNS rendahan yang telah lama ditinggal mati oleh suaminya tersebut, belum pernah punya rumah sendiri. Sejak jadi PNS dari tahun ke tahun, hanya menempati rumah sewa sederhana. Oleh karena itu, jangankan untuk membeli rumah, sekedar menutup kebutuhan hidup sehari-hari saja, uang pensiunannya tidak akan mencukupi.
Mendengar laporan tersebut, saya langsung mengingatkan bahwa, bukankah tabungan ibu sudah cukup untuk membelikan orang itu, rumah kecil-kecilan, agar bisa ditempati. Saya katakan, dia akan senang sekali kalau ibu membelikan rumah untuknya. Mendengar usulan saya tersebut, isteri saya mengatakan bahwa, ia sengaja menyisihkan sisa uang belanja setiap bulan, dan menabungnya selama ini, berniat untuk biaya pergi umrah bersama-sama.
Saya segera menjelaskan bahwa, pahala umrah memang besar. Akan tetapi tidak sebesar pahala bagi orang yan g membelikan rumah untuk orang yang selama hidupnya belum pernah merasakan punya rumah. Saya mengajak membandingkan, antara kegembiraan yang didapat dari pergi umrah dan membelikan rumah bagi orang yang tidak mampu dan sangat membutuhkan.
Tatkala pergi umrah, maka yang gembira hanya kita sendiri. Tetapi kalau membelikan rumah untuk orang yang tidak punya, maka kegembiraan itu akan dirasakan oleh orang yang ditolong itu secara terus menerus, dalam waktu yang lama. Selain itu, kita juga akan merasa gembira tatkala melihat orang gembira, dan tidak akan iba dan sedih lagi, ketika melihat orang tersebut sudah punya rumah.
Ternyata usul saya disetujui, uang yang semestinya digunakan untuk umrah, dibelikan rumah kecil-kecilan, cukup untuk berteduh janda tua tersebut bersama cucu-cucunya. Kebetulan ketika itu, mencari rumah sederhana juga tidak sulit. Harganya juga murah, kira-kira sebesar biaya umrah untuk dua orang. Sekedar biaya umrah untuk dua orang, isteri saya harus menabung cukup lama, karena gaji setiap bulan, besarnya juga tidak seberapa.
Oleh karena semangat, ingin melihat kegembiraan orang yang akan diberi rumah, isteri saya segera mencari orang dimaksud. Namun ternyata, ia sudah pindah ke tempat sewaan lain, yang alamatnya juga tidak jelas. Sehari kemudian, mendapatkan kabar, tentang ancar-ancar alamat yang ditempatinya. Maka segera dicarinya, tetapi juga tidak mudah ditemukan. Sudah banyak orang di lingkungan itu ditanyai, tetapi mengaku tidak tahu.
Agar tidak repot, untuk mencari orang dimaksud, isteri saya mencoba minta bantuan takmir masjid di lingkungan perumahan itu, untuk memanggilnya lewat pengeras suara di tempat ibadah itu. Takmir mengijinkan , dengan catatan harus dipanggil sendiri. Dengan semangatnya, tawaran itu diterima dan langsung memanggil nama orangnya, agar segera datang ke masjid. Tidak disangka, bahwa bukan orang yang dimaksudkan itu yang datang, melainkan malah mendapatkan teguran , karena orang kaget, mengira ada kematian.
Beruntung tidak lama kemudian, usaha pencarian itu berhasil. Janda tua tersebut ditemukan. Namun setelah diberi tahu akan diberi rumah, dia tidak segera percaya, dianggapnya pemberitahuan itu tidak serius. Sebab selama ini, tidak pernah ada orang yang memberinya sesuatu, apalagi rumah. Pikirnya, tidak mungkin rumah diberikan begitu saja, apalagi tidak ada sebab atau hubungan apa-apa. Setelah diyakinkan, maka segera ia menangis sejadi-jadinya, karena haru, senang, dan bahagia. Melihat orang menangis itu, isteri saya, katanya juga ikut menangis pula.
Apa yang saya gambarkan ternyata benar, bahwa umrah memang perlu dan menyenangkan. Tetapi mengalihkan rencana itu untuk memenuhi kebutuhan orang lain yang lebih mendesak, justru dirasakan jauh lebih membahagiakan. Ibadah umrah adalah penting, tetapi bagi yang sudah menjalankannya, mengalihkan biaya itu untuk memenuhi kebutuhan orang lain yang sangat memerlukan pertolongan, kiranya pahalanya jauh melebihi umrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar