Jumat, 17 Juni 2011

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Sains

Keterkaitan  Islam dengan ilmu umum sebetulnya kelihatan  sangat  jelas. Tetapi  anehnya, ada saja  sementara orang masih kebingungan. Mereka yang bingung itu mengatakan bahwa,  bagaimana mengkaitkan  antara fisika dengan fiqh, masailul fiqh dengan biologi, kimia dengan perbandingan madzah,  dan lain-lain. Biasanya  orang yang kebingungan, atau sengaja membingungkan  diri itu  membuat contoh-contoh tersebut  untuk  membenarkan pendapatnya, bahwa tidak ada kaitan antara Islam dengan ilmu pengetahuan modern.  

Akar masalahnya sebenarnya adalah sederhana, yaitu  mereka ingin  menunjukkan kecintaannya terhadap ilmu yang selama itu dikembangkan dan digelutinya.  Kecintaannya itu  ditunjukkan lewat pendapat, bahwa ilmu ke-Islaman tidak bersinggungan dengan disiplin ilmu lainnya. Mereka mengkhawatirkan,   ilmu yang dicintai itu terkalahkan oleh disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, ketika ada isu perubahan IAIN atau STAIN menjadi UIN, mereka  segera mempertanyakan posisi  ilmu agama ke depan, jangan-jangan akan berakibat sepi peminat, dan  bahkan mati.   

Padahal sebenarnya, dengan  konsep integrasi ilmu  itu,  justru yang disebut ilmu agama menjadi lebih berkembang. Kehadiran UIN dengan konsep integrasi dan atau interkoneksi itu dimaksudkan justru menghidupkan kembali ilmu agama. Ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh, adab, dakwah dan lain-lain akan lebih berkembang. Bahkan  perkembangan itu juga  akan menyangkut  perspektif atau metodologinya.  Memang mungkin ada resiko, yaitu misalnya akan  terjadi perubahan atau mengembangan wilayah kajian, konsep,  dan lain-lain,  sebagai   hal logis  dari bagian ilmu pengetahuan yang memang seharusnya selalu berkembang.

Tetapi apapun,  di tengah pro dan kontra terhadap pandangan baru tersebut,  pandangan integrasi itu semakin lama semakin popular. Jargon yang dikembangkan bahwa Islam tidak mengenal dikotomi ilmu pengetahuan. Islam adalah agama sekaligus ilmu dan peradaban yang tinggi. Bahkan juga muncul  kritik tajam dari sementara  kalangan dengan  mengatakan  bahwa,  kemunduruan ummat Islam, di antaranya adalah sebagai akibat  adanya dikotomi ilmu pengetahuan itu.

Bagi  orang  yang sudah lama  menggeluti bidang fiqh, aqidah, akhlak,  tarekh, dan lain-lain,  atau  disebut sebagai ilmu agama,  ingin bertahan, bahwa ilmu agama harus dipertahankan dan tidak seharusnya diintegrasikan. Hasil pemikiranh para ulama yang sudah sekian tahun,  dan telah  terdokumentasi   menjadi berbagai buku, kitab atau literatur, semua itu harus disebut sebagai ilmu, atau tegasnya  ilmu agama.  Mereka belum percaya dengan konsep baru tersebut, ilmu agama akan masih bisa bertahan.   

Posisi saya sebagai salah satu pimpinan UIN, mau tidak mau harus ikut ambil bagian dalam perbincangan itu. Saya ikut memahami dan menghayati, bahwa selama ini melalui kajian agama, maka dikembangkan ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasyawuf, tarekh dan bahasa Arab. Demikian  pula  telah dirumuskan beberapa rumpun ilmu yang kemudian dikembangkan di perguruan tinggi Islam,  yaitu seperti ilmu syariáh, ushuluddin, dakwah, tarbiyah dan adab. Rumpun  ilmu inilah yang kemudian  selama ini  disebut sebagai fakultas agama.

Pandangan yang mengatakan bahwa rumpun ilmu tersebut sebagai ilmu ke-Islaman sebenarnya adalah betul.   Hal  itu mendasarkan  pada kenyataan  bahwa sumber-sumber rujukan yang digunakan adalah ayat-ayat al Qurán dan hadits nabi. Maka itulah sebabnya,  kajian  tersebut dinamai sebagai kajian Islam. Sampai di sini kiranya tidak ada  pihak-pihak yang membantah. Namun ada saja sementara orang yang   mengkritisi  dengan mengatakan bahwa Islam tidak hanya menyangkut persoalan fiqh, tauhid, akhlakh, tasawwuf, dan tarekh. Islam lebih luas dari sebatas ilmu yang diklaim sebagai ilmu ke-Islaman itu.

Kitab suci al Qurán dan hadits nabi juga memerintahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara memikirkan tentang ciptaan  langit dan bumi,  menyuruh umat Islam untuk berpikir, memperhatikan,  dan melihat alam  semesta ini. Bahkan dalam al Qurán disebutkan ayat-ayat yang menantang manusia untuk memperhatikan alam hingga sekecil-kecilnya, misalnya dengan kalimat, : “tidakkah kau perhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung ditegakkan dan  bumi dihamparkan.  Ayat-ayat al Qurán seperti itu,  jika diresapi maknanya secara mendalam, maka sebenarnya secara langsung dapat diartikan  sebagai  anjuran untuk mengggali ilmu pengetahuan seluas-luasnya.

Persoalannya adalah bahwa selama ini  ayat-ayat seperti itu belum dijadikan dasar oleh para ilmuwan tatkala mereka mempelajari alam. Para ilmuwan, seperti ahli biologi, kimia, fisika, sosiologi, psikologi dan seterusnya,  dalam  mengembangkan ilmunya tidak selalu mendasarkan pada ayat al Qurán. Sementara lainnya, orang-orang yang menekuni al Qurán dan hadits selalu berhenti pada kajian kitab suci itu saja. Kajian al Qurán yang dilakukan tidak sampai  melahirkan  semangat  untuk mengkaji ciptaan Allah secara mendalam lewat kajian ilmiah sebagaimana yang dipesan al Qurán itu.

Kehadiran enam Universitas Islam Negeri  atau UIN,  sejak tahun 2002  yang di awali oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan kemudian disusul oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Syarif Qosim Riau, UIN Alauddin Makassar dan UIN Sunan  Gunung Jati Bandung  sebenarnya adalah mengemban amanah untuk membangun keilmuan yang integrative atau mengikuti istilah Prof. Amin Abdullah, integrative dan interkoneksi. Sekalipun gerakan itu belum lama, yakni baru sekitar 10-an tahun, tetapi telah memberikan gambaran  yangt lebih konkrit tentang Islam yang seharusnya dipahami, tidak saja sebatas sebagai  agama tetapi juga menyangkut peradaban yang luas. Wallahu a’lam






sumber: http://uin-malang.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates